"Jejak Pembelajaran adalah catatan perjalanan saya dalam mencari makna, ilmu, dan pengalaman. Setiap langkah, sekecil apa pun, adalah bagian dari proses tumbuh."

Transformasi Pendidik: Membangun Keyakinan dan Keberanian untuk Menciptakan Pembelajaran yang Berdampak

Dalam dinamika pendidikan saat ini, para pendidik dihadapkan pada pertanyaan mendasar mengenai efektivitas proses pembelajaran: Apakah kegiatan mengajar yang dilakukan benar-benar memberikan perubahan pada murid? Pertanyaan reflektif ini menjadi dasar pendekatan Visible Learning, sebagaimana dikemukakan oleh John Hattie, yang menekankan bahwa pembelajaran akan bermakna apabila guru mampu melihat dan mengukur dampak dari setiap tindakan pembelajaran yang dilakukan.

Transformasi menuju pembelajaran yang berdampak merupakan proses bertahap. Perjalanan tersebut dapat dipahami melalui sembilan pilar yang membentuk kesadaran, keyakinan, hingga praktik nyata di kelas.

Fase I: Pilar Pondasi (Kesadaran, Bukti, dan Data)

Fase ini berfungsi membentuk cara pandang baru dalam memahami proses pembelajaran. Guru mulai melihat bahwa mengajar bukan hanya aktivitas penyampaian informasi, melainkan upaya menghasilkan perubahan pada diri siswa.

1. Kesadaran: Mengajar Belum Tentu Berdampak

Pada tahap ini, guru menyadari bahwa kegiatan mengajar tidak serta-merta menjamin ketercapaian pembelajaran. Penyampaian materi bisa berjalan baik, namun hasil belajar siswa belum tentu menunjukkan perubahan yang diharapkan. Yang menjadi fokus utama adalah menggeser orientasi dari “saya sudah mengajar” menjadi “murid saya sudah belajar apa? dan menjadikan refleksi sebagai rutinitas profesional, bukan sekadar tindakan insidental.

2. Refleksi: Mengevaluasi Dampak

Guru mulai melakukan evaluasi terhadap proses pembelajaran melalui pengamatan perilaku belajar, hasil kerja siswa, dan perubahan cara berpikir siswa. Refleksi ini dilakukan secara berkesinambungan dan sistematis. Yang menjadi fokus utama adalah menunjukkan apa yang berhasil dan apa yang memerlukan penyesuaian serta melibatkan penggunaan catatan refleksi singkat setelah mengajar sebagai bagian budaya kerja.

3. Pemahaman: Asesmen sebagai Cermin

Asesmen dilihat bukan hanya sebagai alat mengukur capaian, tetapi juga sebagai informasi penting untuk memahami kebutuhan belajar setiap murid. Guru membaca pola kesulitan, kekuatan, dan perkembangan murid. Yang menjadi fokus utama adalah menggunakan asesmen formatif secara teratur dan menjadikan data asesmen sebagai dasar pengambilan keputusan pembelajaran berikutnya.

4. Kolaborasi: Meluaskan Pandangan

Guru membuka ruang dialog profesional dengan rekan sejawat. Melalui kolaborasi, refleksi menjadi lebih objektif dan peluang perbaikan pembelajaran menjadi lebih terarah. Yang menjadi fokus utama adalah berbagi praktik baik dan tantangan dan menyusun strategi pembelajaran bersama berdasarkan data yang ada.

Fase II: Pilar Keyakinan dan Perubahan Sikap

Fase ini membentuk mindset profesional guru yang berorientasi pada pertumbuhan siswa dan dirinya sendiri sebagai pendidik.

5. Keyakinan: Semua Siswa Dapat Berkembang

Guru memegang keyakinan bahwa kemampuan murid tidak bersifat tetap. Setiap murid dapat berkembang apabila mendapatkan dukungan, pendekatan yang tepat, dan kesempatan untuk belajar sesuai dengan kecepatan masing-masing. Yang menjadi fokus utama adalah menghindari pelabelan negatif terhadap murid dan memberikan intervensi pembelajaran yang adaptif.

6. Perubahan Sikap: Menyambut Tantangan

Guru mulai menerima bahwa perubahan dalam pembelajaran membutuhkan keberanian untuk mencoba pendekatan baru. Ketidakberhasilan bukan menjadi hambatan, tetapi sumber informasi untuk melakukan perbaikan. Yang menjadi fokus utama adalah berani bereksperimen dalam metode, strategi, dan media belajar serta menginternalisasi bahwa kegagalan adalah bagian dari proses peningkatan kualitas pembelajaran.

Fase III: Pilar Implementasi dan Budaya Kelas

Fase ini berhubungan langsung dengan tindakan nyata di kelas dan pembangunan suasana belajar yang kondusif dan berorientasi perkembangan.

7. Interaksi: Membangun Dialog yang Hidup

Pembelajaran tidak hanya satu arah. Guru mendorong terjadinya diskusi, tanya jawab, pemikiran terbuka, dan saling mendengarkan. Suara siswa menjadi bagian penting dalam mengarahkan pembelajaran. Yang menjadi fokus utama adalah menggunakan pertanyaan terbuka yang memicu berpikir mendalam serta memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengemukakan pendapat dan argumen.

8. Kejelasan: Menentukan Arah Bersama

Tujuan pembelajaran dan kriteria keberhasilan disampaikan secara jelas kepada murid sebelum kegiatan dimulai. Siswa memahami apa, bagaimana, dan mengapa mereka belajar. Yang menjadi fokus utama adalah menetapkan learning intention dan success criteria yang eksplisit dan mengajak siswa memonitor dan menilai perkembangan belajarnya sendiri.

9. Keberanian: Memberi Ruang untuk Gagal

Guru menciptakan lingkungan belajar yang aman secara psikologis. Murid tidak takut salah, karena kesalahan dijadikan bahan refleksi untuk perbaikan. Yang menjadi fokus utama adalah mengapresiasi proses, bukan hanya hasil dan membiasakan umpan balik konstruktif secara rutin.


Jadi, kesembilan pilar ini saling terhubung membentuk proses transformasi guru yang bertahap, mendalam, dan berkelanjutan. Perubahan dimulai dari kesadaran individu, diperkuat dengan kolaborasi dan keyakinan profesional, kemudian diwujudkan dalam budaya kelas yang kaya dialog, jelas arahnya, dan mendorong keberanian belajar.




Share:

Dokumentasi

 

Desiminasi Pemanfaatan Micro;bit sebagai Media Pembelajaran

Narasumber Penguatan 7 KAIH di Satuan Pendidikan



Puncak Hari Guru Nasional (HGN) Tahun 2025 KGTK Provinsi Kepulauan Riau




Pelatihan Pembelajaran Mendalam IN-2 Kelas Guru Kabupaten Natuna 


Pelatihan Pembelajaran Mendalam Kelas Kepala Sekolah Kabupaten Natuna


Pelatihan Koding dan Kecerdasaan Artifisial (KKA) IN-2 Batch 1 Kabupaten Natuna





Share:

Bagaimana cara menggunakan Taksonomi SOLO dalam Pembelajaran

 



Apa itu Taksonomi SOLO?

Dalam bidang pendidikan yang terus berkembang, para pendidik terus mencari pendekatan inovatif untuk meningkatkan pembelajaran siswa. Salah satu metode yang semakin populer adalah Structure of Observed Learning Outcome (SOLO) .

Taksonomi SOLO, yang dikembangkan oleh John Biggs dan Kevin Collis, adalah sistem klasifikasi yang membantu guru mengklasifikasikan hasil pembelajaran dalam tingkat peningkatan kompleksitas pemahaman siswa.

Ini menyediakan kerangka kerja untuk memahami perkembangan perjalanan belajar siswa.

Tingkatan Taksonomi SOLO

1. Prastruktural (pemahaman pra-permukaan)

Pada tingkat ini, siswa memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki pemahaman sama sekali tentang suatu topik . Mereka mungkin bingung dan kesulitan memahami dasar-dasarnya.

2. Unistruktural (pemahaman permukaan)

Siswa mulai memahami satu aspek topik . Mereka dapat mengidentifikasi beberapa fakta atau konsep, tetapi pemahaman mereka masih terbatas.

3. Multistruktural (pemahaman permukaan)

Siswa mulai menghubungkan berbagai informasi . Mereka dapat melihat bagaimana bagian-bagian yang berbeda saling berhubungan dan memiliki pemahaman yang lebih luas.

4. Relasional (pemahaman mendalam)

Siswa dapat menganalisis dan menjelaskan hubungan antar gagasan . Mereka dapat berpikir kritis dan memahami gambaran yang lebih besar.

5. Abstrak Lanjutan (pemahaman konseptual)

Ini adalah level tertinggi. Siswa dapat berpikir secara mendalam dan mandiri tentang suatu topik. Mereka dapat menerapkan apa yang telah mereka pelajari ke dalam situasi baru dan menghasilkan solusi kreatif .


Seperti Apa Tingkatan Taksonomi SOLO di Kelas?

Mari kita uraikan ini ke dalam istilah yang lebih praktis untuk lebih memahami seperti apa tingkat pemahaman ini di dalam kelas. 

Siswa pada tingkat pra-struktural mungkin berkata:
"Saya tidak mengerti."
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Saya belum pernah mendengar hal ini sebelumnya."

Siswa pada tingkat unistruktural mungkin berkata:

"Saya punya satu ide."
"Saya dapat mendefinisikan suatu istilah."
"Saya bisa melakukan prosedur sederhana."

Siswa pada tingkat multistruktural mungkin berkata:
"Saya punya banyak ide tentang topik ini!"
"Saya dapat menjelaskan beberapa ide saya."
"Saya tidak mengerti bagaimana ide-ide ini saling berhubungan."

Siswa pada tingkat relasional mungkin berkata:
"Saya tahu bagaimana ide-ide ini saling berhubungan."
"Saya dapat menerapkan apa yang telah saya pelajari."
"Saya dapat menjelaskan MENGAPA ini terjadi."

Siswa pada tingkat abstrak yang diperluas mungkin berkata:
"Saya dapat menggunakan apa yang saya pelajari dan menerapkannya pada hal lain."
"Saya dapat membuat prediksi berdasarkan apa yang saya pelajari."
"Saya dapat mengevaluasi sesuatu berdasarkan apa yang saya pelajari."

 

Cara Mengklasifikasikan Hasil Pembelajaran Menggunakan Taksonomi SOLO

1. Identifikasi Hasil Pembelajaran

Mulailah dengan mendefinisikan secara jelas capaian pembelajaran spesifik yang ingin Anda capai oleh siswa. Capaian ini harus mencerminkan apa yang seharusnya diketahui, dipahami, atau dapat dilakukan siswa di akhir pengalaman belajar.

Misalnya, jika Anda mengajarkan suatu unit tentang kelistrikan, hasil pembelajarannya mungkin meliputi:

  • Siswa akan mampu membuat rangkaian seri dan paralel sederhana dan menjelaskan perbedaannya.
  • Siswa akan dapat menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kecerahan bohlam dalam suatu rangkaian, seperti jumlah baterai.

2. Tentukan Tingkat Pemahaman

Nilai kedalaman pemahaman yang dibutuhkan untuk setiap capaian pembelajaran . Pertimbangkan kompleksitas berpikir dan sejauh mana siswa harus menghubungkan dan menerapkan pengetahuan.

Saat menentukan kedalaman pemahaman untuk menetapkan hasil pembelajaran, lihat daftar kata kerja berikut yang berkaitan dengan setiap tingkat. 

CATATAN : Tingkat prastruktural menunjukkan kurangnya pemahaman tentang apa pun yang berkaitan dengan suatu topik. Oleh karena itu, capaian pembelajaran biasanya tidak dikaitkan dengan tingkat pemahaman ini menurut SOLO.

Namun, sebagai guru, Anda dapat memulai dengan "batu loncatan pertama" dan menetapkan hasil yang sederhana dan berjenjang rendah seperti "mengidentifikasi, menghafal, dan mengingat kembali." 

Unistruktural

Mengenali
Mendefinisikan
Lakukan prosedur sederhana

Multistruktural

Mendefinisikan
Daftar
Menggabungkan
Menggambarkan
Gunakan algoritma

Relasional

Menggolongkan
Menganalisa
Mengaitkan
Garis besar penyebabnya
Bandingkan & bedakan

Abstrak yang Diperluas

Mencerminkan
Meramalkan
Mengadakan hipotesa
Membuat
Desain & bangun
Mencerminka
n


3. Cocokkan dengan Tingkat Taksonomi SOLO

Tetapkan setiap capaian pembelajaran pada tingkat taksonomi SOLO yang sesuai. Berikut contoh tujuan pembelajaran dari unit sains kelas 8 dengan topik "Listrik" yang dikategorikan menggunakan taksonomi SOLO:

Unistruktural — Siswa akan dapat mengidentifikasi komponen dasar rangkaian listrik, seperti baterai, kabel, dan bohlam.
Multistruktural — Siswa akan mampu membuat rangkaian seri dan paralel sederhana dan menjelaskan perbedaannya.
Relasional — Siswa akan dapat menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kecerahan bohlam dalam suatu rangkaian, seperti jumlah baterai atau panjang kabel.
Abstrak yang diperluasSiswa akan dapat mengevaluasi efisiensi rangkaian kompleks dengan beberapa komponen dan sakelar, dan merenungkan cara kerjanya berdasarkan pemahaman mereka tentang prinsip-prinsip kelistrikan.

 

Bagaimana Taksonomi Solo Dapat Digunakan untuk Mendukung Pembelajaran Siswa?

Setelah mengklasifikasikan capaian pembelajaran, Anda dapat berfokus pada bagian terpenting: meningkatkan pembelajaran siswa . Setelah menilai pemikiran siswa untuk menentukan tingkat pemahaman dasar mereka, Anda dapat menggunakan Taksonomi SOLO dalam berbagai cara: 

Bagilah siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil untuk membedakan tugas belajar berdasarkan tingkatnya. Setelah siswa mencapai satu tujuan pembelajaran, mereka melanjutkan mempelajari pelajaran yang terkait dengan tingkat pemahaman berikutnya.
Dengan menggunakan pendekatan "pusat" , siswa dapat memilih aktivitas mana yang paling sesuai dengan tujuan pembelajaran mereka saat ini. Dengan menyelaraskan tujuan pelajaran dengan tingkat SOLO tertentu, pendidik dapat merancang pengalaman belajar yang mendukung perkembangan siswa melalui taksonomi , sehingga mendorong pemahaman konsep yang lebih dalam.

Gunakan taksonomi untuk membuat rubrik dan kriteria penilaian yang mencerminkan tingkat pemahaman yang diinginkan. Gunakan taksonomi untuk membuat bahasa umum untuk membahas hasil pembelajaran dan perkembangan dengan siswa Anda.

Berdasarkan tingkat yang ditargetkan, terapkan pendekatan pembelajaran khusus (misalnya, pengajaran eksplisit, kerja kelompok, pemecahan masalah, diskusi reflektif, dan penyelidikan) yang membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran khusus tersebut.


Kesimpulan

Mengklasifikasikan hasil pembelajaran dengan taksonomi SOLO akan memandu Anda dalam merencanakan pembelajaran, merancang penilaian, dan memilih metode pengajaran yang efektif . Hal ini memastikan perkembangan, dukungan, dan pemahaman konsep siswa yang lebih mendalam dalam pengalaman belajar yang terstruktur.

 

 

Sumber : https://learn.rumie.org/jR/bytes/how-do-i-use-solo-taxonomy-to-help-my-students-succeed/ 

 

Share:

Tantangan Implementasi Pembelajaran Mendalam

Mitos dalam dunia pendidikan sering kali menyebar layaknya virus. Begitu masuk ke ruang guru, ia cepat menular dan sulit dikendalikan. Konsep deep learning pun tidak luput dari hal ini. Banyak guru yang sejatinya memiliki niat tulus untuk menghadirkan pembelajaran bermakna, justru bisa tersesat karena terpengaruh oleh mitos-mitos yang terdengar keren tetapi sebenarnya menyesatkan. Alih-alih fokus pada esensi pembelajaran mendalam, energi sering terkuras untuk mengikuti tren yang tidak selalu tepat sasaran.

Ilustrasi pada gambar menunjukkan bagaimana satu informasi keliru dapat bercabang dengan cepat, menyebar ke berbagai arah, dan memengaruhi banyak pihak. Inilah tantangan besar dalam implementasi pembelajaran mendalam: memilah antara mitos dan praktik nyata yang berbasis bukti. Guru perlu membekali diri dengan literasi pendidikan yang kuat, kemampuan reflektif, serta keberanian untuk kritis. Dengan begitu, pembelajaran mendalam dapat benar-benar terlaksana sesuai tujuan awalnya—membantu siswa berpikir kritis, memahami konsep secara utuh, dan mampu menerapkannya dalam konteks kehidupan nyata.

Seperti yang diingatkan Michael Fullan, kegagalan inovasi pendidikan bukan semata karena ide atau konsepnya buruk, melainkan karena sering kali dijalankan dengan landasan asumsi yang keliru. Jika mitos atau pemahaman yang salah dijadikan dasar implementasi, maka sekeras apa pun usaha yang dilakukan tidak akan mengantarkan pada hasil yang diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pondasi berpikir jauh lebih menentukan daripada sekadar kerja keras tanpa arah.

Dalam konteks pembelajaran mendalam, tantangan terbesar bukan hanya mengenalkan konsepnya, tetapi memastikan bahwa guru memahami esensinya dengan tepat. Tanpa pemahaman yang benar, strategi pembelajaran mendalam berisiko disalahartikan sekadar sebagai metode baru yang mengikuti tren. Oleh karena itu, penting untuk membangun kesadaran kritis, memperkuat literasi pendidikan, dan berpegang pada riset serta praktik yang terbukti efektif. Dengan dasar yang kokoh, implementasi pembelajaran mendalam dapat benar-benar membawa perubahan positif bagi siswa dan dunia pendidikan.

John Hattie melalui kajian meta-analisisnya memberikan bukti penting: tidak semua strategi yang populer dalam pendidikan benar-benar efektif. Bahkan, ada strategi yang memiliki effect size rendah atau justru negatif, tetapi tetap digunakan karena dianggap “katanya bagus”. Fenomena ini menunjukkan bahwa popularitas tidak selalu berbanding lurus dengan efektivitas, dan tanpa evaluasi kritis, guru bisa terjebak pada praktik yang tidak memberi dampak signifikan bagi pembelajaran siswa.

Oleh karena itu, implementasi pembelajaran mendalam menuntut keberanian untuk memilah antara praktik yang benar-benar terbukti efektif dan sekadar mitos atau tren. Guru perlu berpijak pada data, riset, dan pengalaman reflektif, bukan hanya pada pendapat umum atau jargon pendidikan yang terdengar menarik. Dengan cara inilah pembelajaran mendalam bisa berkembang secara sehat—bukan sekadar ikut arus, tetapi benar-benar mengubah cara siswa belajar, berpikir, dan bertumbuh.

Seperti yang ditekankan oleh Bransford, pembelajaran mendalam sangat bergantung pada mental model yang dimiliki guru. Model mental ini menjadi peta berpikir yang menentukan bagaimana guru memahami tujuan, menyusun strategi, hingga merancang aktivitas pembelajaran. Jika peta ini salah, maka arah yang ditempuh juga akan melenceng, meskipun niat dan usaha yang dilakukan sudah maksimal. Dengan kata lain, kualitas pembelajaran mendalam tidak hanya ditentukan oleh metode atau media, tetapi pertama-tama oleh kerangka berpikir yang benar di benak guru.

Karena itu, membangun mental model yang tepat adalah investasi paling mendasar dalam implementasi pembelajaran mendalam. Guru perlu terus belajar, berlatih refleksi, dan membuka diri terhadap temuan riset maupun praktik baik yang terbukti efektif. Dengan mental model yang benar, setiap aktivitas yang dirancang akan selaras dengan tujuan pembelajaran mendalam: membantu siswa mengembangkan pemahaman konseptual, berpikir kritis, dan mampu menerapkan pengetahuan dalam berbagai konteks kehidupan nyata.

Untuk benar-benar memahami pembelajaran mendalam, guru perlu berani mencoret mitos-mitos yang menyesatkan. Misalnya, mitos bahwa deep learning identik dengan proyek besar dan rumit. Faktanya, yang terpenting bukanlah ukuran proyek, melainkan kedalaman berpikir yang dilatih. Diskusi singkat selama 10 menit pun bisa menghasilkan pembelajaran mendalam jika diarahkan pada target yang jelas dan bermakna bagi siswa.

Begitu pula dengan anggapan bahwa siswa yang senang otomatis mengalami deep learning. Kesenangan memang penting, tetapi tanpa transfer pengetahuan, hal itu hanya berhenti pada hiburan. Target sesungguhnya adalah bagaimana siswa mampu menghubungkan konsep yang dipelajari dengan konteks baru. Selain itu, deep learning tidak terbatas pada mata pelajaran eksakta atau berpikir tingkat tinggi saja. Semua bidang, mulai dari seni hingga olahraga, memiliki peluang untuk menghadirkan kedalaman belajar, dengan menyesuaikan konteks dan tujuan yang dituju.

Biggs & Tang melalui konsep constructive alignment menegaskan bahwa seluruh elemen pembelajaran harus terhubung dengan outcome yang diharapkan. Artinya, mulai dari perumusan tujuan, pemilihan strategi, hingga bentuk asesmen, semuanya perlu dirancang selaras agar siswa benar-benar mencapai capaian belajar yang bermakna. Jika salah satu elemen tidak nyambung, proses pembelajaran bisa kehilangan arah dan hasil akhirnya pun tidak sesuai harapan.

Yang lebih krusial, definisi outcome itu sendiri harus tepat. Jika guru keliru mendefinisikan hasil belajar yang ingin dicapai, maka alignment otomatis gagal, meskipun strategi dan aktivitasnya terlihat menarik. Oleh karena itu, sebelum berbicara tentang metode atau media, guru perlu memastikan bahwa tujuan pembelajaran sudah jelas, relevan, dan realistis. Dengan fondasi inilah, pembelajaran mendalam dapat dirancang secara konsisten sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang utuh dan bermakna.

Kerangka taksonomi dapat membantu guru memahami posisi deep learning dalam proses belajar. Dalam revisi Bloom, pembelajaran mendalam minimal berada pada level Analyze atau Create, di mana siswa tidak hanya mengingat atau memahami, tetapi sudah mampu membongkar struktur pengetahuan dan menghasilkan sesuatu yang baru. Sementara itu, SOLO Taxonomy menekankan bahwa capaian pembelajaran mendalam harus sampai pada level Relational atau bahkan Extended Abstract, di mana siswa mampu menghubungkan berbagai konsep dan menggeneralisasikannya ke situasi baru.

Dengan memahami kedua kerangka ini, guru bisa lebih presisi dalam merancang tujuan, aktivitas, dan asesmen pembelajaran. Deep learning bukan sekadar jargon, melainkan proses terstruktur yang menuntut siswa berpikir pada level tinggi, tanpa memandang mata pelajaran apa pun. Apakah itu seni, olahraga, atau sains, esensi pembelajaran mendalam adalah melatih siswa untuk menganalisis, mencipta, serta mengaitkan pengetahuan dengan konteks yang lebih luas dan bermakna.

Singkatnya, awal yang keliru akan membawa pembelajaran mendalam menjauh dari tujuannya. Ketika guru terjebak pada mitos populer seperti “deep learning harus berupa proyek besar”, “murid senang berarti pembelajaran mendalam tercapai”, atau “deep learning hanya untuk mata pelajaran tertentu”, maka arah perencanaan dan aktivitas akan kehilangan intinya. Padahal, inti dari pembelajaran mendalam adalah bagaimana pengetahuan dapat ditransfer dan keterampilan berpikir tingkat tinggi benar-benar terasah dalam diri siswa.

Peringatan dari para ahli seperti Fullan, Hattie, dan Bransford menegaskan bahwa mitos hanya akan mengaburkan praktik pendidikan yang efektif. Fullan menekankan bahwa inovasi akan gagal jika dimulai dari asumsi keliru, Hattie menunjukkan bahwa banyak strategi populer ternyata berdampak kecil, sementara Bransford menekankan pentingnya mental model yang tepat. Oleh karena itu, menghapus mitos adalah langkah mendasar agar guru tidak sekadar membuat aktivitas menarik, tetapi benar-benar menghadirkan pengalaman belajar yang berdampak mendalam bagi siswa. 



Referensi :

  1. Fullan, M., Quinn, J., & McEachen, J. (2018). Deep Learning: Engage the World Change the World. Thousand 0aks, CA: Corwin Press.
  2. Hattie, J. (2009, revised 2023). Visible Learning: A Synthesis of Over 2,100 Meta-Analyses Relating to Achievement. London: Routledge.
  3. Bransford, J. D., Brown, A. L, & Cocking, R. R. (2000). How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School. Washington, DC: National Academy Press.
  4. Biggs, J., & Tang, C. (2011). Teaching for Quality Learning at University (4thed.). Maidenhead: Open University Press.
  5. Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.). (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman.

Bacaan lebih lanjut:

  1. Brown, P. C, Roediger, H. L., & McDaniel, M. A. (2014). Make It Stick: The Science of Successful Learning. Harvard University Press.
  2. Kirschner, P. A., Sweller, J., & Clark, R. E. (2006). Why Minimal Guidance During Instruction Does Not Work. Educational Psychologist, 41(2), 75-86.
  3. Perkins, D. N. (1992). Smart Schools: Better Thinking and Learning for Every Child. Free Press.

Share:

Mengenai Saya

Foto saya
Yuri Yogaswara, S.Pd., M.PFis adalah Widyaiswara Ahli Muda pada Kantor Guru dan Tenaga Kependidikan Provinsi Kepulauan Riau yang berfokus pada pengembangan kompetensi guru dan tenaga kependidikan. Ia menempuh pendidikan Sarjana Pendidikan Fisika di Universitas Pendidikan Indonesia (2008) dan meraih gelar Magister Pengajaran Fisika dari Institut Teknologi Bandung (2018). Berpengalaman sebagai asesor, narasumber, fasilitator, dan motivator, Yuri aktif dalam berbagai kegiatan peningkatan kapasitas pendidik di tingkat daerah maupun nasional. Sebelumnya, ia berperan sebagai asesor pada Program Guru Penggerak, salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Saat ini, ia turut terlibat dalam pelaksanaan program prioritas Kemendikdasmen lainnya, yaitu Pembelajaran Mendalam dan Koding Kecerdasan Artifisial. Dengan komitmen terhadap pembelajaran sepanjang hayat, Yuri terus berupaya mendorong inovasi, kolaborasi, dan profesionalisme guru untuk mewujudkan pendidikan yang bermakna dan berdaya saing.

Total Tayangan Halaman