"Jejak Pembelajaran adalah catatan perjalanan saya dalam mencari makna, ilmu, dan pengalaman. Setiap langkah, sekecil apa pun, adalah bagian dari proses tumbuh."

Pembelajaran Mendalam : Jangan Ikut Tren

Pembelajaran mendalam merupakan pendekatan yang diterapkan untuk menguatkan impelementasi kurikulum merdeka. Berbagai tanggapan datang dari guru sebagai ujung tombak. Bagi sebagian guru ada yang menanggapi semangat sampai heboh menganggap ini sesuatu hal yang baru. Pertama mungkin semangat menerimanya tetapi bisa jadi setelah belajar atau mendalami semangat menurun karena banyak yang harus ia kerjakan. Padahal konsep pembelajaran mendalam bukan untuk dicoba-coba seperti halnya membuat kue. Karena, pembelajarannya hakikatnya membentuk karakter manusia, iya kalau dicoba-coba bisa jadi apa tujuan luhur pendidikan membentuk karakter 8 dimensi lulusan tidak tercapai. Ini fakta yang tidak bisa dihindari, praktik di lapangan sering terjadi. 

UNESCO (2023) memberikan peringatan keras bahwa mayoritas guru di dunia, termasuk di Indonesia, masih terjebak dalam praktik pembelajaran berbasis hafalan. Model seperti ini membuat murid hanya terlatih menjawab pertanyaan, tetapi kurang mampu menghubungkan pengetahuan dengan kehidupan nyata. Akibatnya, meskipun siswa terlihat pintar secara akademik, mereka sering kesulitan mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kreatif, dan kontekstual yang sangat dibutuhkan di abad 21. 

Menurut Michael Fullan, pembelajaran mendalam bukan sekadar soal menyampaikan materi, melainkan tentang membentuk manusia yang utuh melalui penguatan 6C: karakter, kewarganegaraan, kolaborasi, komunikasi, kreativitas, dan pemikiran kritis. Tanpa keenam dimensi ini, pelajaran hanya berhenti sebagai catatan di buku, tidak benar-benar menjadi bagian dari cara hidup siswa. Pendekatan 6C inilah yang mendorong pendidikan lebih bermakna, relevan, dan berdampak bagi kehidupan nyata murid.

John Hattie melalui penelitiannya di Visible Learning memperkenalkan konsep effect size untuk mengukur sejauh mana strategi mengajar benar-benar memberikan dampak pada hasil belajar siswa. Ia menekankan bahwa metode pembelajaran yang tidak memberikan pengaruh signifikan justru hanya akan menguras tenaga guru tanpa memberikan manfaat nyata bagi murid. Dengan kata lain, mengajar bukan sekadar aktivitas, melainkan harus terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas belajar.

Ukuran efektivitas itu dapat dilihat dari skor effect size. Hattie menetapkan bahwa strategi pembelajaran dianggap efektif bila memiliki skor di atas 0,4. Jika berada di bawah angka tersebut, strategi tersebut sebaiknya tidak lagi digunakan karena cenderung membuang waktu dan energi. Pendekatan ini mendorong guru untuk lebih selektif, fokus pada metode yang berdampak nyata, serta berorientasi pada hasil belajar yang lebih bermakna.

Biggs dan Tang menekankan pentingnya constructive alignment, yaitu keselarasan antara tujuan pembelajaran, aktivitas belajar, dan penilaian. Ketiganya harus terhubung secara konsisten, bagaikan jalur kereta yang mengantarkan siswa menuju arah yang jelas. Tanpa keselarasan ini, pembelajaran akan kehilangan arah dan sulit mencapai hasil yang diharapkan.

Jika prinsip tersebut diabaikan, konsekuensinya cukup serius. Siswa bisa merasa bingung, guru menjadi frustrasi, dan sekolah hanya terjebak pada jargon “deep learning” tanpa benar-benar mewujudkannya. Karena itu, constructive alignment menjadi fondasi penting agar pembelajaran tidak sekadar slogan, tetapi nyata membentuk pengalaman belajar yang bermakna.

Bransford dan rekan-rekan dalam How People Learn menegaskan bahwa tujuan akhir dari proses pembelajaran adalah transfer. Artinya, apa yang dipelajari siswa di kelas harus bisa dibawa dan diterapkan dalam konteks atau situasi baru. Inilah yang membedakan pembelajaran bermakna dengan sekadar menghafal materi, karena transfer menunjukkan bahwa pengetahuan benar-benar hidup dalam diri siswa.

Namun, jika siswa tidak mampu menggunakan apa yang telah mereka pelajari di luar ruang kelas, maka seluruh usaha mengajar hanya berhenti sebagai rutinitas semu. Alih-alih menghasilkan keterampilan yang relevan, pembelajaran berubah menjadi sekadar “drama kelas” yang tampak sibuk tetapi miskin dampak. Oleh karena itu, setiap upaya pendidikan seharusnya berorientasi pada bagaimana ilmu dapat diterapkan dalam kehidupan nyata.

Deep Learning harud dipahami bahwa siswa harus dapat menghubungkan ide, menguji pemahaman lewat tantangan nyata dan memindahkan konsep ke konteks baru. Tentu untuk menuju kesana perlu cara. Guru dapat melakukan itu dengan cara outcome harus jelas,aktivitas harus menantang tetapi realitis dan penilaian dapat mengukur bagaimana murid dapat mentransfer konsep dalam situasi yang baru. Setidaknya target minimal dilevel analyze untuk Taksonomi Bloom dan Relational atau Extended Abstract untuk taksonomi Solo.

Mari kita periksa apakah saya :

  • Saya paham bahwa Deep Learning bukan sekedar tren ?
  • Saya tahu empat tokoh dunia hari ini : Fullan, Hattie, Biggs, dan Bransford yang pemikirannya dapat membantu pemahaman terkait Deep Learning ?  
  • Saya bisa menjelaskan perbedaan antara hafalan dan transfer pengetahuan ?
  • Saya punya minimal satu contoh aktivitas yang memaksa siswa menghubungkan ide ?
Mari kita list apa yang harus kita kerjakan :

  • Periksa 1 RPP apakah outcome atau tujuan pembelajaran tersebut bisa diuji di dunia nyata tidak ?
  • Ganti satu aktivitas hafalan dengan aktivitas koneksi ide
  • Sisipkan satu pertanyaan terbuka di akhir pembelajaran : "kalau konsep ini dipakai di konteks siswa, apa yang berubah ?
  • catat kedalaman jawaban siswa (bukan sekedar benar dan salah)
Mari kita refleksikan bersama :
  • Kalau murid saya hanya bisa menghafal tapi tidak bisa memindahkan konsep ke situasi baru, siapa yang salah - murid, saya atau sistem ?
  • Dari 6 kompetensi mana yang paling jarang muncul di kelas saya dan kenapa ?
  • Apa resiko terbesar kalau saya memulai deep learning hanya karena ikut-ikutan ?

Refrensi :
  1. UNESCO. (2023). Global Edueation Monitoring Report. Paris: UNESCO Publishing.
  2. Fullan, M., Quinn, J., & McEachen, J. (2018). Deep learning: Engage the World Change the World. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.
  3. Hattie, J. (2009, revised 2023). Visible Learning: A Synthesis of Over 2,100 Meta-Analyses Relating to Achievement. London: Routledge.
  4. Biggs, J., & Tang, C. (2011). Teaching for Quality Learning at University (4th ed.). Maidenhead: Open University Press.
  5. Bransford, J. D., Brown, A. L., & Cocking, R. R. (2000). How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School. Washington, DC: National Academy Press.
  6. Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (Eds.). (2001). A Taxonomy for learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's TaxonOmy of Educational Objeetives. New york: Longmam.
  7. Biggs, J., & Collis, K. (1982). Evaluating the Quality of Learning: The SOLO TaxonOWy. New york: Academic Press.
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Yuri Yogaswara, S.Pd., M.PFis adalah Widyaiswara Ahli Muda pada Kantor Guru dan Tenaga Kependidikan Provinsi Kepulauan Riau yang berfokus pada pengembangan kompetensi guru dan tenaga kependidikan. Ia menempuh pendidikan Sarjana Pendidikan Fisika di Universitas Pendidikan Indonesia (2008) dan meraih gelar Magister Pengajaran Fisika dari Institut Teknologi Bandung (2018). Berpengalaman sebagai asesor, narasumber, fasilitator, dan motivator, Yuri aktif dalam berbagai kegiatan peningkatan kapasitas pendidik di tingkat daerah maupun nasional. Sebelumnya, ia berperan sebagai asesor pada Program Guru Penggerak, salah satu program prioritas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Saat ini, ia turut terlibat dalam pelaksanaan program prioritas Kemendikdasmen lainnya, yaitu Pembelajaran Mendalam dan Koding Kecerdasan Artifisial. Dengan komitmen terhadap pembelajaran sepanjang hayat, Yuri terus berupaya mendorong inovasi, kolaborasi, dan profesionalisme guru untuk mewujudkan pendidikan yang bermakna dan berdaya saing.

Total Tayangan Halaman